Cerita Suku Sasak yang Tertindas Jelang MotoGP Mandalika 2024

Cerita Suku Sasak yang Tertindas Jelang MotoGP Mandalika 2024

Cerita Suku Sasak yang Tertindas Jelang MotoGP Mandalika 2024 di Akhir Pekan-@motogp-

DailySports.ID - Di balik gemerlap persiapan ajang MotoGP di Mandalika, Lombok pada akhir pekan ini, tersimpan cerita pilu yang jarang tersorot publik. 

Ribuan pengunjung dari seluruh dunia mungkin akan menikmati aksi balapan spektakuler di lintasan baru yang mengkilap, namun bagi penduduk asli Suku Sasak, setiap perhelatan besar ini membawa luka lama yang kembali terbuka.

Sejak pembangunan Sirkuit Mandalika, kehidupan masyarakat adat setempat telah berubah drastis.

Mereka kehilangan tanahnya sendiri, yang mana terpaksa meninggalkan rumah mereka, dan kini, jelang balapan mereka menghadapi tekanan baru dari pihak berwenang. 

Lebih dari 2.700 personel polisi dikerahkan di area sirkuit, bukan hanya untuk menjaga keamanan acara, tetapi juga untuk memastikan tidak ada suara protes yang bisa mencoreng citra Indonesia di panggung internasional.

Warga Lokal Diintimidasi untuk Bungkam

Kapolda Nusa Tenggara Barat, Umar Faruq, menyatakan bahwa tindakan keras akan diambil terhadap setiap bentuk gangguan, termasuk pemasangan spanduk protes oleh masyarakat. 

Namun, ancaman ini justru menciptakan atmosfer ketakutan bagi warga lokal yang ingin menyuarakan keadilan atas tanah mereka.

Habibi, seorang peneliti dari Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH), mengungkapkan bahwa banyak warga merasa takut untuk memasang spanduk secara terbuka karena trauma dari perlakuan represif di ajang-ajang sebelumnya. 

"Orang-orang takut, mereka melakukan protes secara diam-diam," kata Habibi merujuk pada pengalaman buruk warga selama perhelatan balapan internasional di masa lalu seperti dikutip dari Mongabay.

Sejak peresmian Sirkuit Mandalika pada 2021, warga setempat terus mengalami pembatasan aktivitas selama ajang internasional seperti MotoGP dan World Superbike

Pos pemeriksaan, penjatahan gelang dan stiker akses, serta pembatasan mobilitas membuat kehidupan sehari-hari mereka terhenti.

Beberapa warga bahkan mengalami penangkapan karena mengkritik proyek pembangunan, sementara lainnya dipaksa untuk bungkam.

Atmosfer ketakutan para warga semakin diperkuat dengan kehadiran sniper, latihan pengendalian massa, dan laporan tentang kerja paksa. 

Penempatan kekuatan keamanan yang berlebihan ini telah dikritik oleh para anggota PBB yang menyebutnya sebagai tindakan yang "tidak perlu dan berlebihan."

Pembangunan Mandalika: Pemerintan Janji Kemajuan tetapi Menyisakan Penderitaan

MotoGP Mandalika tahun ini berlangsung di tengah proses persetujuan akhir dari Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) terkait pencairan dana sebesar 248 juta dollar atau sekitar Rp 3,72 triliun untuk pengembangan kawasan wisata Mandalika. 

Dana tersebut merupakan bagian dari proyek besar senilai 3 miliar dollar atau sekitar Rp 45 triliun yang bertujuan menjadikan Mandalika sebagai destinasi wisata baru yang mampu menyaingi Bali.

Namun, proyek yang digadang-gadang membawa kemajuan ini telah meninggalkan jejak penderitaan bagi masyarakat adat setempat. 

Sepuluh ahli PBB, termasuk pelapor khusus, telah mendesak agar pencairan dana AIIB dihentikan sementara hingga dilakukan evaluasi menyeluruh atas dampak proyek terhadap masyarakat lokal.

Menurut para ahli, proyek ini berisiko menyebabkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki terhadap hak-hak masyarakat adat.

Mereka menyerukan agar proses pemulihan hak atas tanah atau kompensasi yang layak dilakukan dengan melibatkan langsung masyarakat yang terdampak.

Menurut Wawa Wang, direktur NGO Just Finance International, AIIB telah melanggar standar lingkungan dan sosialnya sendiri. 

Seharusnya, sebelum memberikan pendanaan, AIIB melakukan konsultasi menyeluruh dengan masyarakat adat untuk memastikan proyek tersebut tidak merugikan mereka.

"AIIB sering berbicara tentang pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, tetapi kenyataannya, masyarakat adat Sasak telah kehilangan segalanya. Mereka kehilangan tanah, mata pencaharian, dan masa depan anak-anak mereka," kata Wang.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia dan ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation) bersikeras bahwa semua kompensasi kepada masyarakat telah diberikan. 

Direktur komersial ITDC, Troy Reza Waroka, menyatakan bahwa tidak ada pembayaran tambahan yang bisa dilakukan karena seluruh proses kompensasi sudah selesai sejak awal pembangunan pada tahun 2020.

Namun, klaim ini dibantah keras oleh masyarakat lokal dan peneliti hukum seperti Habibi. Dia mengungkapkan bahwa masih ada ratusan kasus sengketa lahan yang belum diselesaikan, dengan banyak warga yang belum menerima kompensasi yang layak.

"Ini kebohongan besar. Masih ada lebih dari 194 kasus yang belum terselesaikan, dan mungkin jumlahnya lebih banyak karena banyak warga yang belum mendapat bantuan hukum," kata Habibi.

Bagi masyarakat adat Sasak, balapan MotoGP yang seharusnya menjadi kebanggaan justru menjadi simbol ketidakadilan dan penindasan. Setiap kali deru mesin balap menggelegar, hati mereka juga berdegup kencang dalam ketakutan dan keresahan.

Harapan Baru: Suara untuk Masa Depan yang Lebih Baik

Menjelang perhelatan MotoGP 2024, para ahli dari PBB terus menyerukan agar Indonesia menghentikan tindakan intimidasi terhadap masyarakat adat di sekitar Mandalika. 

Harapan mereka jelas, yaitu agar tanah yang dirampas dikembalikan dengan hak-hak mereka diakui, dan kehidupan yang lebih baik bisa mereka jalani di masa depan.

Namun sampai saat itu tiba, Suku Sasak hanya bisa berharap dan bertahan di tengah gemuruh sirkuit yang telah merampas lebih dari sekadar tanah mereka, yaitu mengambil hak, masa depan, dan kebebasan mereka di tanah mereka sendiri.

Berita Terkait